Jumat, 20 Januari 2012

Hukum Kewarisan di Indonesia

A.    PENGERTIAN HUKUM KEWARISAN
dalam beberapa literatur hukum islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan hukum kewarisan islam, seperti fiqh mawaris, ilmu faraidh, dan hukum kewarisan.
fiqh mawaris adalah kata yang berasal dari bahasa arab fiqh dan mawaris yang artinya berarti mengetahui, memahami, yakni mengetahui sesuatu atau memahami sesuatu sebagai hasil usaha mempergunakan pikiran yang sungguh – sungguh. dan mawaris artinya adalah harta peninggalan yang diwarisi oleh ahli warisnya.

jadi fiqih mawaris adalah suatu disiplin ilmu membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak menerima harta peninggalan itu serta berapa bagian  masing – masing.

B.    Hukum Kewarisan di Indonesia
di indonesia terdapat berbagai agama dan kepercayaan serta adat istiadat, sistem keturunan dan sistem kekerabatan yang berbeda – beda, hal ini pula yang mempengaruhi sistem kewarisan islam di indonesia. dan ada 3 golongan sistem kekeluargaan yang terdapat di indonesia :
1.    sifat kebapakan ( patriarchaat )
2.    sifat keibuan ( matriachaat )
3.    sifat kebapak – ibuan ( parental )
dan diindonesia yang berlaku dari hukum kewarisan di indonesia untuk para warga negara indonesia adalah :
1.    bagi orang indonesia asli pada pokoknya berlakulah hukum adat, yang berada dalam pelbagai daerah dan berhubungan dekat dengan tiga sifat kekeluargaan diatas.
2.    bagi orang indonesia asli yang beragama islam di pelbagai daerah ada pengaruh yag nyata dari peraturan warisan hukum islam.
3.    bagi orang – orang arab pada umumnya berlaku seluruh hukum islam.
4.    bagi orang – orang tionghoa dan eropa berlaku hukum warisan dari burgelijk wetboek ( BW , Buku II title 12 s/d 18, pasal 830 s/d 1130 )
C.    Sumber hukum Mawaris
1.    Al – Quran
2.    Al – Hadist
3.    ijma Para ahli
4.    ijtihad
Hukum Warisan di UAE

A.    Shar'ia UU Warisan

Warisan adalah pengalihan kepemilikan hukum dari aset almarhum untuk ahli waris-Nya, dasar hukum untuk hukum warisan di Uni Emirat Arab ditemukan dalam syariah. Syariah adalah sumber utama hukum Islam dan
didasarkan terutama pada Quran dan Sunnah (perkataan Nabi Muhammad SAW), yang berfungsi sebagai pelengkap sumber ke Al - Quran. Syariah adalah hukum namun tidak dikodifikasi, itu adalah bentuk abstrak dari hukum yang mampuadaptasi, pengembangan dan penafsiran lebih lanjut. Sebuah sumber yang signifikan baik di dalam kontroversi dan luar komunitas Muslim adalah hukum waris Islam, yang "Hukum" sebenarnya adalah sebuah proses yang berkelanjutan dariinterpretasi peraturan Qurantic dan prinsip - prinsip untuk membentuk "hukum" kompleks warisan dalam Islam. Di bawah UEA Kode Sipil, Federal Hukum No.2 tahun 1987 ("Kode"), Pasal 17 (1) menyediakan: "Warisan harus diatur oleh hukum almarhum pada saat kematiannya "Oleh karena itu., domisili hukum berlaku. Namun, dalam kaitannya dengan properti riil, sebagai pengecualian, Pasal 17 (5) secara khusus menyatakan bahwa "Hukum UEA berlaku untuk surat wasiat yang dibuat oleh alien membuang real properti mereka terletak di Negara ". (Referensi ke" Negara " adalah referensi ke Uni Emirat Arab.)
Selain itu, Pasal 1219 (2) Kode Etik menetapkan bahwa warisan masalah dan transfer perkebunan harus tunduk dengan ketentuan Syariah Islam dan hukum yang disahkan memberikan ambahan efek. Sehubungan dengan surat wasiat khusus, Pasal 1258 dari Kode menyatakan bahwa ketentuan ketentuan syariah Islam dan ketentuan-ketentuan legislatif yang berasal darinya berlaku untuk surat wasiat.

SISTEM WARIS BANGSA ARAB SEBELUM ISLAM
Sistem waris merupakan salah satu sebab adanya perpindahan kepemilikan, yaitu perpindahannya harta benda dan hal – hak material dari pihak yang mewariskan      ( Muwaris ), setelah yang bersangkutan wafat, kepada para penerima warisan   ( Warasatsah ) dengan jalan pergantian yang didasarkan pada hukum syara’. terjadinya proses pewarisan ini, tentu setelah memenuhi hak – hak yang terkait dengan harta peninggalan si mayit
Terkait dengan hal diatas, timbul sebuah pertanyaan: apakah orang – orang arab di masa jahiliah mengetahui persoalan waris atau tidak ? jawabannya, adalah benar orang – orang arab di masa jahiliah mengetahui, bagaimana cara mereka melaksanakannya, hal itu mereka lakukan berdasarkan dua sebab, yakni garis keturunan atau nasab, sebab atau alasan tertentu.
Berdasarkan garis keturunan atau kekerabatan adalah warisan yang diturunkan kepada anak lelaki dewasa yang ditandai dengan kemampuan menunggang kuda bertempur dan meraih harta rampasan perang. Apabila anak lelaki tidak ditemukan, mereka memberikan kepada ahli Waris ‘Ashabah yang memiliki hubungan kekerabatan terdekat, seperti saudara lelaki, paman, dan lainnya. dengan demikian, mereka bangsa arab jahiliah, tidak memberikan warisan kepada kaum perempuan dan anak – anak, baik laki – laki ataupun perempuan.
Sedangkan sebab kedua, berdasarkan sebab atau alasan tertentu adalah warisan yang diberikan kepada ahli waris melalui jalur adopsi. Kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung yang mewarisi dari ayahnya. Adopsi merupakan salah satu adat bangsa arab yang sudah dikenal dimasa jahiliah. mereka menetapkan jalur adopsi sebagai salah satu penghalang dibolehkannya menikah dengan perempuan ( Istri ) dari orang tua yang mengadopsinya. Haramnya anak laki – laki yang diadopsi menikahi istri orang tua yang mengadopsinya. Sama haramnya menikahi anak perempuan dari orang yang mengadopsinya, apabila keduanya istri orang yang mengadopsi putrinya – dicerai atau ditinggal mati. kedua, mereka menjadikan adopsi sebagai salah satu alasan pelaksanaan hukum waris.
Selain itu, dalam bangsa arab jahiliah sebab atau alasan tertentu yang dapat menyebabkan saling mewarisi adalah perjanjian. adapun yang dimaksud dengan perjanjian adalah dua pihak saling berjanji, misalnya dengan mengatakan, “ Darahku adalah darahmu. Penyeranganku adalah penyeranganmu. Kamu menolongku berarti aku menolongmu, dan kamu mewarisi hartaku berarti aku mewarisi hartamu. “ Sebagai akibat dari ikatan perjanjian ini, bila seorang dari mereka meninggal dunia, pihak satunya, yang masih hidup, berhak mewarisi harta peninggalan rekannya yang telah meninggal dunia. Dengan demikian, orang – orang Arab sebelum islam tidak memberikan warisan kepada anak – anak yang belum dewasa dan kaum perempuan.

PANDANGAN SYARIAT ISLAM TERHADAP SISTEM WARIS ARAB
Ketika Islam datang, orang – orang arab dengan cepat meninggalkan kebiasan mereka tentang warisan. kemudian, islam membatalkan hukum waris melalui jalur adopsi, seperti dalam firman Allah SWT,...Dia tidak menjadikan anak – anak angkatmu sebagai anak  kandungmu ( Sendiri )...Panggilan mereka ( Anak – anak Angkat itu ) dengan ( Memakai ) nama bapak-bapak mereka. itulah yang lebih adil disisi allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak - bapak mereka, maka ( Panggilan mereka sebagai ) Saudara – saudaramu seagama dan maula – maulamu. Tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi ( yang ada dosanya ) apa yang disengaja oleh hatimu. Adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang “ ( Al Azhab [33]:4-5 ). Dengan demikian, islam juga membatalkan hak waris anak yang diadopsi, yang ditetapkan oleh orang – orang arab.








HUKUM WARIS ISLAM, STUDY PERBANDINGAN
DENGAN SYARIAT ISLAM
Pada akhir Abad ke – 20 yang lalu ini banyak negara islam mengadakan pembaruan hukum waris islam agar muda diaplikasikan kepada seluruh masyarakat islam. Disamping itu pembaruan juga dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi agar hukum waris islam itu tidak ketinggalan zaman. Pembaruan hukum waris islam sepanjang hal – hal yang menyangkut Nash  yang Dhanni dan     hal – hal yang belum diatur sama sekali dalam sistem hukum waris islam dapat dibenarkan dan disambut baik oleh masyarakat islam, akan tetapi hal – hal yang diatur  secara Qathi dalilnya maka dalam hal ini tidak dibenarkan untuk merubahnya. oleh karena banyak prinsip hukum waris islam yang telah ditetapkan dalam nash secara Qathi dan rinci, maka dalam rangka pembaruan hukum waris islam hendaknya hati – hati dilaksanakan agar  tidak  menyimpang dari tujuan islam secara keseluruhan. penggunaan ijtihad dalam hal – hal yang sudah qathi dalilnya harus dihindari, sedangkan hal – hal yang bersifat dhanni justru penggunaan ijtihad sangat dianjurkan.
HUKUM WARIS PADA SYARIAT LAMA
Hukum Waris Pada Mesir Kuno
Kepemilikan tanah maupun harta belum dikenal pada zaman mesir kuno,             tanah – tanah dibiarkan begtu saja tanpa ad a yang memilikinya. kepemilikan tanah secara mutlak  ( Absolut ) baru ada pada zaman fir’aunah, pada zaman ini semua tanah milik firaunah dan rakyat tidak mempunyai hak apa – apa, mereka hanya mempunyai hak menggunakan saja tidak mempunyai hak apa – apa, mereka hanya mempunyai hal untuk memperjual belikan, juga tidak mempunyai hak untuk mewarisi kepada ahli warisnya. Keadaan ini terus berlangsung sampai datangnya Raja Abu Khour, dialah yang pertama kali meletakkan dasar – dasar hukum waris bagi rakyatnya dan dialah yang memperbolehkan setiap penduduk untuk memiliki tanah – tanah pertanian.
Adapun sistem waris dalam masyarakat mesir kuno adalah dengan memosisikan anak paling dewasa ( dewasa dalam berpikir dan bertindak  dalam lingkungan keluarga mereka sebagai pengganti orang yang telah meninggal dunia ( Pewaris ), inipun  hanya dalam bidang pemanfaatan lahan, tanpa memilikinya. orang mesir kuno tidak memberikan hak – hak istimewa kepada orang yang ditunjuk sebagai orang yang mengganti kedudukan orang yang meninggal dunia  ( Sipewarist ), termasuk dalam hal kepemilikan harta – harta yang dimiliki oleh saudara – saudaranya yang lain. Kedudukan orang yang meninggal dunia itu hanya dalam hal memimpin keluarga saja.
Dalam tradisi masyarakat mesir  kuno, mereka tidak membeda – bedakan antara anak sulung dengan anak bungsu, dalam bidang kewarisan demikian juga tidak membedakan anak laki – laki dan perempuan. Mereka juga tidak membedakan antara anak paling dewasa dengan anak paling kecil, setiap ahli waris, entah itu sebagai anak, cucu, dan lainnya sama saja. Mereka hidup menyatu dalam masalah harta keluarga sebagai syirkah Mufawadhah yang dikepalai oleh anak paling dewasa dalam lingkungan keluarga mereka.
Beberapa catatan yang ditemukan dalam artefak mesir kuno, disebutkan bahwa bagian anak perempuan lebih kecil dari bagian anak lelaki dalam hal mendapat harta waris. Hal ini disebabkan karena anak lelaki tersebut dianggap bertanggung jawab dalam melindungi saudara perempuannya. Namun tidak ada catatan yang pasti tentang siapa saja yang bisa disebut sebagai ahli waris. Dalam beberapa catatan dapat diketahui bahwa yang mendapat pusaka adalah ibunya, istri, saudara laki – laki, saudara perempuan, bibi, paman, paman dan bibi lain ibu. tentang posisi cucu dari seorang bapak yang meninggal dunia lebih dahulu daripada bapaknya ( kakek ), dia menempati posisi bapaknya yang telah meninggal dunia dalam hal harta pusaka kakeknya. Dari ketentuan ini dapat diketahui bahwa pembagian harta waris dalam masyarakat mesir kuno tidak terbatas hanya kepada anaknya, tetapi juga termasuk di dalamnya setiap kerabat yang menyatu dalam kerabat dalam keluarga orang yang meninggal dunia itu.

Hukum Waris Pada Umat Timur Kuno
yang dimaksud dengan umat timur kuno adalah umat turania, kaldan, suryani, phonecia, dan sekitarnya. mereka adalah umat yang menduduki dataran timur setelah terjadi topan dan banjir pada zaman nabi musa as. Mereka hidup di sini sampai runtuhnya kerajaan yahudi dan berdirinya kerajaan romawi.
Mekanisme pembagian harta warisan secara umum didasarkan pada anak yang paling tua. anak paling tua ini menempati kedudukan orang tuanya ( ayahnya ) tanpa terikat dengan wasiat, meskipun ia kurang cakap dalam melaksanakan urusan keluarga dan rumah tangga mereka. jika dalam keluarga tersebut. Atau anak laki – laki tidak cakap dan pandai dalam keluarga tersebut, maka posisi itu baru jatuh kepada saudara yang meninggal dunia, seperti paman dan seterusnya sampai kehidupannya dengan mereka. hal ini mereka pertahankan agar keluarga tetap stabil dalam estafet pergantian pemimpin tanpa terjadi pertikaian diantara mereka.
Dan demi keutuhan keluarga tetap utuh, aman, dan damai mereka mengharamkan kaum perempuan dan anak – anak mewarisi harta pusaka orang tuanya . wasiat dikalangan mereka sangat jarang terjadi, wasiat dianggap tidak sah kecuali dalam keadaan sangat terpaksa seperti  tidak ada kaum pria dalamm keluarga yang bersangkutan dan itu pun hanya kepada karib kerabat saja yang mempunyai perhatian khusus kepada keluarga pewaris.
Namun sangat disayangkan, mekanisme kewarisan dengan cara memberikan harta waris kepada anak laki – laki sulung sebagaimana telah diuraikan diatas sering menimbulkan ketidakpuasan kepada ahli waris yang lain.
Hukum Waris Menurut Syariat Islam
Syariat islam menetepkan ketentuan tentang waris dengan sangat sitematis, teratur, dan penuh dengan nilai – nilai keadilan. dan didalamnya ditetapkan hak – hak kepemilikan bagi setiap manusia, baik laki – laki maupun perempuan dengan cara yang dibenarkan oleh hukum. Syariat islam juga menetapkan hak – hak kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia yang harus diterima oleh seluruh kerabat dengan nasabnya, dewasa atau anak kecil, semua mendapat hak secara legal. Al – Quran telah menjelaskan secara rinci tentang hukum – hukum yang berkaitan dengan kewarisan untuk dilaksanakan oleh umat islam diseluruh dunia.
Al – Mirats dalam bahasa arab adalah mashdar ( Infinitif ) dari kata waritsa, yatitsu, irtsan-miiratsan. Makanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal – hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda misalnya, Allah SWT. Dalam alquran surat al naml ayat 16  “ wawarisa sulaimanu dauda “ ( dan sulaiman telah mewarisi daud ) dan hadis “ al – ulama warasatul anbiyai “ ( ulama adalah ahli waris para nabi ). sedangkan makna al-miirats menurut islam yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang ditinggal itu berupa harta, uang, tanah atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.
Pada awal islam, sebab – sebab orang mewarisi selain karena kekerabatan, juga disebabkan karena pengangkatan anak ( tabani ), hijrah dari mekkah ke madinah, bersumpah setia antara dua orang hilf dan karena mengikat tali persaudaraan antara muhajirin  dan anshar. Kemudian dalam perkembangan lebih lanjut, satu persatu dari sebab –sebab warisan tersebut dimansukhkan oleh syariat islam.
3 sebab orang menjadi ahli waris
1.    Kerabat dekat.
2.    Pernikahan yang sah .
3.    Memerdekakan budak.
Sebab – sebab orang penghalang orang mewarisi :
1.    Perbudakan
2.    Pembunuhan
3.    Berlainan agama
4.    Berlainan negara

Sumber Buku :
1.    Hukum Waris, Komite Fakultas Syariah,
2.    Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Prof. Dr. H. Abdul Manan, SH, S.IP, M.Hum.
3.    Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia,Drs.H.Moh. Muhibbin, SH, M.Hum, Sinar Grafika.
4.    Fiqih Mawaris, Drs. Dian Khairul Umam, Pustaka Setia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar