Selasa, 13 Desember 2011

Pembenaran: Kebenaran sepihak.

 Dedi Harianto Lubis pada 10 Juli 2010 pukul 3:26

Hati Nurani: Batas Tipis Antara Kebenaran & Pembenaran

Pada suatu ketika saya sempat larut dalam sebuah percakapan singkat dengan seorang teman di di dunia maya. Rentang umur kami yang terpaut cukup jauh, nampaknya tidak menjadi pembatas untuk kami membicarakan hal-hal yang bisa dikatakan cukup serius. Ya, saya banyak tahu darinya. Kami mengkondisikan diri untuk saling belajar dan membelajarkan diri kami masing-masing, kepada siapa dan apapun.

Buat saya kita dapat belajar dari mana saja, bahkan dari benda mati sekalipun. Terutama untuk pencarian sesuatu yang masih banyak menimbulkan pertanyaan, dan yang belum saya dapatkan keabsahannya. Hidup adalah pencarian. Pencarian akan kebenaran. Dan itu yang sering saya dengung-dengungkan dalam diri saat ini. Banyak hal yang sering kami diskusikan, musik [sudah pasti], kehidupan bersosial, keuangan, pekerjaan, fenomena kekinian, hingga masalah percintaan yang membutakan [haha..]. Semuanya terkait dengan hal-hal mendasar. Tak terkecuali yang remeh.

Namun, dalam percakapan kali itu otak saya terpetakan oleh satu pernyataan yang menyangkut pada esensi manusia sebagai makhluk berotak dan berpikir. Ya, buat saya saat itu hal inilah yang perlu dibahas mengingat kondisi masyarakat kekinian. Ada satu hal yang fundamental yang justru sering terlupakan oleh kita sebagai umat manusia. Satu hal yang seharusnya mampu menegaskan kefungsian manusia sebagai mahkluk sosial dan membedakannya dengan makhluk lain [baca: binatang], yaitu hati nurani.

Manusia terlalu tinggi derajatnya untuk disandingkan dengan makhluk yang satu itu. Tuhanpun mengakui itu. Hanya saja kenapa kini tingkah-polah manusia cenderung tak jauh beda dengan tingkah polah binatang. Dalam kondisi masyarakat kini, yang memiliki kecenderungan acuh/apatis/cuek/tak mau tahu/tak peduli/memikirkan diri sendiri/individualis atau apalah bahasanya, sangat potensial terjangkit penyakit ‘tak berhati nurani’. Binatang tak memiliki ini. Manusia punya, namun sering melupakannya. Bahkan untuk hal-hal yang memerlukan kefungsiannya.

Yang jadi pertanyaannya adalah maukah kita memfungsikannya? Kita memerlukan jawaban untuk pertanyaan ini. Dan lagi-lagi berpaling kepada hati nurani manusia itu sendiri. Yang paling utama perlu dilakukan adalah bagaimana kita mampu memisahkan kebenaran dan ketidakbenaran. Bukannya membuat pembenaran!!! Karena kita bukan Tuhan. Manusia terlalu mudah men-generalisir keadaan. Terlebih dalam kondisi seperti sekarang dimana banyak manusia yang menuhankan ataupun menabikan dirinya hingga seolah-olah merasa paling benar.

Menurut saya tidak perlulah kita berkoar-koar untuk mencari-cari kesalahan orang lain. Saling tuding siapa yang salah siapa yang benar. Seperti yang banyak terjadi sekarang, mencari kambing hitam. Semata-mata mencari pembenaran atas dirinya. Terlalu banyak orang yang melakukan sesuatu mengatasnamakan hati nurani, tapi tidak memfungsikan hatinya. Menurut agama inilah salah satu pertanda ciri orang munafik. Hati nurani buat saya adalah hal mendasar yang perlu diresapi. Semua hal yang kita lakukan berpulang kepada yang satu ini.

Saya pernah membaca sebuah artikel milik seorang kawan di sebuah zine [tahun 1998], penggalan kalimat yang ingin saya kutip kurang lebih seperti ini; “…buatlah pilihan atas nama hati nurani. Jelek baiknya kawan-kawan akan tahu dengan sendirinya. Sebagus apapun yang kawan-kawan lakukan jika tidak berasal dari hati sanubari sendiri, itu merupakan hal yang sia-sia. Kawan-kawan akan membohongi diri kalian sendiri. Ini tidak hanya berlaku dalam attitude bermusik saja, tapi juga dalam setiap sisi kehidupan…” [saat itu penulis membahas masalah sempit pikiran dalam bersikap di musik underground].

Ya, saya mengiyakan semua pernyataan di atas. Namun, penggunaan hati nurani berlaku dalam segala segi kehidupan, dalam setiap keputusan yang kita ambil, dan segala tindak-tanduk yang kita buat. Semua hal yang kita lakukan kembali kepada hati nurani kita sendiri. Tapi tentunya hati nurani yang bersih yang diseimbangkan dengan otak yang waras. Otak dan hati haruslah sinergi, barulah menghasilkan sesuatu yang berarti. Buat saya hati nurani tidak pernah salah, hati nurani tidak pernah berpihak [ia cukup bijak dalam menyikapi sesuatu], dan hati nurani memutuskan sesuatu atas dasar kebenaran bukan pembenaran*.

Sebagai contoh, jika menurut sebagian orang membuang sedikit sampah sembarangan [misal bungkus permen] tidak akan berdampak apa-apa, hal itu adalah pembenaran bukan kebenaran. Karena kebenarannya adalah membuang sampah haruslah pada tempatnya. Contoh lainnya, jika berzinah itu dibolehkan oleh agama menurut sebagian orang, itu adalah pembenaran bukan kebenaran. Karena kebenarannya adalah berzinah itu dilarang agama. Dan banyak lainnya contoh lainnya yang dekat dengan kehidupan kita. Terlebih kehidupan kaum muda.

Jadi, putuskanlah segala sesuatu berdasarkan kebenaran bukan pembenaran, dan sekali lagi semuanya berpulang kepada hati nurani. Mari kita pikirkan!!!

*Pembenaran: Kebenaran sepihak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar